Rabu, 09 Desember 2009

Kanjeng Syekh Marah


Malam Jumat sekitar pukul dua belas, aku didatangi Kanjeng Syekh. Wajah Kanjeng Syekh menyiratkan kelelahan yang sangat. Tanpa bicara apa-apa, Kanjeng Syekh menampar pipi ku sekeras-kerasnya. Plakk!

Dancuk! Sampeyan ini kenapa sih, datang-datang main gampar orang?!”, semprotku sewot atas perilaku orang tua ini.

“Kamu yang dancuk, Luqman!”.

“Lho, Kanjeng Syekh tiba-tiba koq menyalahkan aku?”.

“Biarin, memang apa susahnya menyalahkan orang, apalagi hanya kamu, heh!”.

O, Kanjeng Syekh ini sudah gila, pikirku. Mosok datang-datang main gampar, masih pakai menyalahkan tanpa sebab segala. Benar-benar gila orang tua satu ini.

“Kamu menuduh aku gila, ya, Luq?”, semprot Kanjeng Syekh sambil meludahi wajahku.

“Lho, Sampeyan koq tahu?”, setengah heran aku dibuatnya, lha baru ada dalam pikiranku, eh, orang ini sudah tahu kalau aku anggap dia gila.

“Ya tahu, begitu saja koq sulit!”.

“Kanjeng Syekh, Sampeyan pasti dibantu jin!”

“Biarin, begitu koq repot-repot?!”

Ah, Kanjeng Syekh ini benar-benar dancuk. Asu! umpatku dalam hati.

“Apa, heh, kamu bilang aku dancuk dan asu?”.

“Lho, Kanjeng Syekh koq tahu lagi?!”

“Ya tahu, begitu saja koq sulit!”.

“Sampeyan pasti ada yang mbisiki?!”.

“Ya, memang ada yang mbisiki aku, yaitu Gusti Allah!”.

“Ah, nDagel, kapan Kanjeng Syekh ketemu Gusti Allah?”, tanyaku sambil misuh-misuh tidak karuan.

“Sejak dulu, sebelum aku duduk di sini. Sejak aku pulang mlancong dari negeri Abu Nawas. Sejak ku temukan negeri ini dikuasi para setan dan iblis. Maka aku mencari Gusti Allah untuk ku pisuhi dan ku tempelengi. Wong katanya Dia itu Penguasa Tunggal di alam ini, mosok ada setan dan iblis yang setiap hari makan darah dan daging manusia, koq, dibiarin saja!”.

Sampeyan bisa ketemu Gusti Allah, di mana?”, tanyaku serius sambil membersihkan bekas ludah di wajahku yang baunya minta ampun. Pasti Kanjeng Syekh ini sudah tujuh tahun tidak gosok gigi.

“Ya ketemu, to, begitu saja koq sulit!”

“Di mana, Sampeyan bertemu Gusti Allah?!”

“Di pelosok-pelosok desa gersang dan tandus, di pinggir-pinggir kali tengah kota penuh sampah dan limbah, di rumah-rumah kardus pojok pasar, di tempat-tempat pelacuran, di pemukiman-pemukiman buruh, di emper-emper toko pada tengah malam, di tampat-tempat bangunan raksasa akan dibangun. Paham !?”.

“Tidak!”.

“Kenapa?”, tanya Kanjeng Syekh.

“Gusti Allah koq mirip-mirip dengan kekumuhan, kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan dan ketertindasan. Kanjeng Syekh pasti ngawur!”, sergah ku sambil melongokkan kepala ke arah saku Kanjeng Syekh, siapa tahu ada rokok di sana, ‘kan lumayan.

“Rokokmu habis ya, Luq?!”.

“Lho, Kanjeng Syekh koq tahu lagi!”.

“Ya tahu, sana ambil rokok di dalam tas itu!”.

“Terimakasih, Kanjeng Syekh”, ucapku cengengesan.

Nah, kedatangan ku ….”,

“Stop!”, potongku segera, “aku mau bikin kopi dulu Kanjeng!”, seru ku sambil ngeloyor ke dapur.

*********

Aku masih mendengar Kanjeng Syekh misuh-misuh, jengkel karena tiba-tiba aku tinggal ke dapur. Biarin. Tapi jujur saja, aku nggak habis pikir, Kanjeng Syekh datang tengah malam dengan wajah kuyu, marah-marah, omong tentang Gusti Allah. Apa maksudnya? Sekedar kentut untuk membuang kepenatannya setelah hari-hari perjalanannya dipenuhi permasalahan yang tidak habis-habis atau ada maksud lainnya. Apalagi dengan kedudukannya yang baru sebagai penguasa kursi kasepuhan di Kasultanan.

Nah, kopinya sudah jadi. Di mana intip goreng tadi sore itu ya, siapa tahu Kanjeng Syekh lapar. Lumayan bisa buat ganjel perut. Nah ini dia!

“Ini kopinya, Kanjeng?!”.

“Lha, itu apa?!”, tanya Kanjeng Syekh menunjuk ke piring yang masih ku pegang.

“Ini intip yang digoreng dengan jlantah!”.

“Ah! Dasar kere!” gerutunya.

“Biarin!” sahutku singkat.

Beberapa saat kamudian tangan Kanjeng Syekh mengambil intip goreng dan dikremusnya dengan lahap.

“Nah enak kan Kanjeng?”, tanyaku sambil menyulut rokok kretek yang aku ambil dari tas Kanjeng Syekh.

“Nah!”, Kanjeng Syekh berbicara, “Aku datang ke sini untuk memarahimu secara serius, Luq?!”.

“Memang, apa salah ku?”.

“Kau telah melalaikan tugas!”.

“Tugas yang mana, Kanjeng?”.

“Tugas untuk meneruskan pekerjaan Kiai Mutamakin!”.

“Lho, apa hubungannya diriku dengan masalah Kiai Mutamakin, Kanjeng Syekh? Beliau ‘kan sudah wafat ratusan tahun lalu!”.

“Justru karena beliau sudah wafat itu, pekerjaannya harus kamu teruskan!”.

“Kanjeng Syekh, aku nggak kenal dengan Kiai Mutamakin, apalagi tahu pekerjaannya apa, Sampeyan ini ada-ada saja!”.

Nggak bisa! Kamu pasti tahu!”, bentak Kanjeng Syekh dengan roman muka serius.

“Tapi…..”.

“Begini saja…”, potong Kanjeng Syekh cepat, “Aku tidak mau tahu apakah kamu kenal Kiai Mutamakin atau tidak, tahu yang dikerjakannya atau tidak, pokoknya kamu harus meneruskan pekerjaan yang sudah dirintisnya. Titik!”.

Lho, Kanjeng Syekh koq maksa?”.

“Biarin. Yang maksa kan bukan aku!”.

“Lalu siapa?”.

“Gusti Allah!”, jawab Kanjeng Syekh sambil bangkit dari duduk dan hendak melangkah pergi.

“Gusti Allah ada di mana sekarang, aku mau bertemu langsung?”, tantangku sembari memegang ujung baju Kanjeng Syekh, biar tidak jadi pergi.

He, lepaskan bajuku!”, teriak Kanjeng Syekh, “Lepaskan! Nanti robek!”

Yo ben, ben kapok!”, jawabku sekenanya, “Di mana itu Gusti Allah, aku mau bertemu sendiri, biar tidak di peta-kompli terus”.

“Cari saja sendiri”, kata Kanjeng Syekh, “Di pelosok-pelosok desa gersang dan tandus, di pinggir-pinggir kali tengah kota penuh sampah dan limbah, di rumah-rumah kardus pojok pasar, di tempat-tempat pelacuran, di pemukiman-pemukiman buruh, di emper-emper toko pada tengah malam, di tampat-tempat bangunan raksasa akan dibangun!”.

Dancuk!”, semprotku.

Yo ben!”, teriak Kanjeng Syekh sambil pergi. Pencolot. Grobyyak. Darrr.

Asu! Aku nabrak pintu reotmu, Luq!” (***)

(Papringan ABC, Salatiga, Rabu, 23 Februari 2000)

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda