Rabu, 09 Desember 2009

ANDA AKTIFIS...???


Sudah banggakah kau jika disebut sebagai aktifis? Aktifis, sebuah kebanggaan yang sering menjerumuskan orang pada keangkuhan dan kejahatan baru atas dirinya sendiri dan orang lain. Sebutan aktifis, oleh sebagian orang dianggap berbau pemberontakan, kekumuhan, anarkis dan yang jelek-jelek. Oleh sebagian orang dianggap sebagai sebutan yang mengagumkan, heroik, kayak pahlawan dan seperti pendekar dalam buku-buku silat.

Lalu sebenarnya mahluk apa aktifis itu? Ah, ya siapa yang dapat memberikan ta’rif atau definisi secara pasti. Semua pengertian dan definisi tentu akan bermuatan kepentingan dari yang merumuskan. Kalau tentara yang bikin, aktifis tentu akan diartikan sebagai pengacau, GPK, perusuh, penjarah dan sebagainya yang serba jelek-jelek. Kalau mahasiswa progresif yang bikin definisi, tentu akan diartikan sebagai anak manusia yang memiliki semangat dan praksis pembelaan kepada kebenaran dan keadilan seraya membumikannya dalam pemihakan terhadap orang-orang miskin dan tertindas. Lalu kata Pak Kiai yang arif, biarlah sekelompok anak-anak muda mencari jati diri dalam terang cahaya kenabian Muhammad. Mereka sedang menari mencari perhatian dihadapan Tuhan-Nya. Meraka sedang berusaha meniru keagungan Tuhan-Nya dengan cara manja dan lucu-lucu. Tapi jangan sekali-kali disepelekan, mereka bisa nekat, dan dahsyatnya dapat melebihi kekuatan sejuta petir angkasa. Jangankan kepalamu, raja-raja yang mengaku dirinya Tuhan, yang didukung jutaan pasukan bersenjata dan milisi sipil serta perangkat intelejen super canggih pun, dengan mudah dapat diruntuhkan.

Lalu, menurut Anda apa? Menurut saya, yang namanya aktifis itu, ya sepeti gemblong cotot yang terbuat dari ketela pohon, dimakan, dikunyak-kunyah lalu disemprotkan ke wajahmu. Nah Dashyat ‘kan? Makanya, jadi orang jangan sok mengaku sebagai aktifis. Apalah arti sebuah kebanggaan dihadapan manusia, sedang dihadapan Tuhan tidak kau dapatkan sesuatu pun kecuali penyesalan. Maka mari mencari Ridho Tuhan dengan belajar ikhlas dan mengikhlasi segala yang kita lakukan.

Kalau begitu, tidak ada kata lain, kecuali mengabdi dan berbakti kepada Tuhan melalui kehidupan nyata ini, Kebaktian dan Pengabdian bukanlah doa-doa di menara masjid dan gereja, melainkan pergulatan dengan lumpur penderitaan rakyat. (*)

Salatiga, 27 Juli 2007

Label:

PENGAKU

Semoga bukan sekedar slogan, itu pertama komentarku mengenai judul tulisan hasil permenungan ini.

“Pengakuan” semoga benar-benar artikulasi kesadaran diri akan realitas, kasunyatan dan ke-wadag-an diri. Sebuak nyanyian hasil refleksi penuh kesadaran dan tanpa sehelai tendensi, kecuali keinginan untuk lebih mendekat pada kesejatian makna hidup, mendekat pada kaki-kaki Kekasih di Kursi Arsy-Nya. Dan lebih menukikkan arah hidup dan sikap hidup kepada kedalaman samudera Cinta-Nya.

“Pengakuan” adalah penelanjangan diri atas diri sendiri dengan kesadaran dan pengertian yang terbebaskan dari intervensi serta pengaruh diluar kedirian diri.

Maka “Pengakuan” berarti pencopotan segala macam topeng, kosmetika wajah, kemunafikan sikap, kepura-puraan tekad, kepalsuan pemihakan yang menyembunyikan ambisi pribadi serta segala sikap hidup yang bersifat dusta.

“Pengakuan” berarti menginsafi potensi diri; kelemahan, kekurangan, cacat, ketidak-berdayaan, yang acap kali kita carikan penyelesaiannya dengan mengkambing-hitamkan teman, orang tua, rakyat, bahkan kadang-kadang Tuhan kita tuding-tuding sebagai biang kerok.

Sering kita menggugat (lebih tepatnya : nggrundeli) Tuhan atas kegagalan, kesedihan, kekecewaan dan kekalahan yang kita derita. Tuhan kita tuduh tidak konsisten terhadap ucapan-Nya yang akan menolong orang-orang yang berjuang dijalan-Nya. Kira-kira kita sering berucap :”…Damput! Tuhan itu gimana to ? Katanya kita disuruh ber amar makruf nahi munkar, kita disuruh menegakkan kebenaran dan keadilan, membela orang-orang lemah dan tertindas, tapi koq kita ndak dikasih fasilitas! Kita dijadikan tetap kere, bahkan tersisih, dikucilkan, diisolasikan dari pergaulan. Lho Tuhan ini Gimana To?! Tuhan koq ‘mencla-mencle’, nyuruh berjuang tapi ndak ngasih bekal….”. Uring-uringan ini tidak cupuk sampai disini, sebagian lain menambahkan, “Kalau begitu, Tuhan pasti sedang bercanda, tidak serius, alias main-main….!!!”

Seabreg “penghujatan” lainnya sering ‘tanpa sadar‘ nyrocos dari mulut kita. Baik mulut lahir maupun mulut batin. Namun, yang pasti, ‘caci-maki’, grundelan, gugatan dan sebangsanya itu tidak keluar dari mulut ‘bawah’ kaum perempuan. Dahsyat!

******

Nah, kembali pada tema “Pengakuan”. Jika kita dapat sampai pada maqam atau kedudukan sebagai orang yang mengaku, orang yang bersyahadat, maka kita akan menjadi orang yang anti-kambing hitam, anti menutupi persoalan dengan persoalan lain, anti bikin kerajinan apologi, anti bikin industri topeng untuk menutupi buruk wajah kita.

Persoalannya, barangkali adalah, “Pengakuan” itu secara ontologi apa, epistimologinya bagaimana dan aksiologinya kayak apa.

Tetapi sebenarnya ini bukanlah persoalan rumit. Semua gamblang dan terang. Bahwa ontologi “Pengakuan” adalah kesadaran kita sebagai manusia, orang-orang, yang hidup ini diciptakan Tuhan dengan seperangkat tujuan dan fungsi yang menyertai penciptaan itu. Epistimologinya, ya berawal dari relfeksi, permenungan, rela membelejeti diri menuju hakikat, inti terdalam, nukleus dari ruh hidup ini. Aksiologinya, yang jelas karena kita harus bersikap sesuai dengan tangggung-jawab kita sebagai khalifatullah fie al ardh, sebagai pemakmur bumi, lii’likalimatillah, ber-tabligh walau ayatan, ber-qulil haqqu walau kaana murran dan berjihad secara kontekstual. Atau ringkasnya, kita mesti memperjuangkan “amanat penderitaan Tuhan”.

Lho, jangan dikira Tuhan pada awalnya tidak menderita. Dahulu, Tuhan ketika masih sendirian merasa menderita karena keber-Ada-an-Nya tidak ada yang mengakui. Maka Tuhan menciptakan mahluk, termasuk manusia ini, agar mereka (para mahluk) mengakui-Nya. Menjadi para pengaku. Kalau anda tidak sepakat dengan pendapat saya ini, ya silahkan!. Wong Tuhan saja tidak pernah memaksakan kehendak-Nya. Membebaskan kita memilih iman atau kafir sebagaimana saya membebaskan saya dan anda untuk bergerak ketangga “Pengakuan” atau tetap memilih bertahan di anak tangga sebelumnya yang jumud, beku, inkonsisten, lari ditempat dengan fatamorgana mimpi-mimpi besar saya dan Anda. (*)

(Ditulis dalam naungan kearifan seorang Guru : KH. Mahfudz Ridwan, Lc. Di Wisma Santri EDI MANCORO Gedangan Tuntang Kab. Semarang pada tanggal 02 September 1997)

Label:

Kanjeng Syekh Marah


Malam Jumat sekitar pukul dua belas, aku didatangi Kanjeng Syekh. Wajah Kanjeng Syekh menyiratkan kelelahan yang sangat. Tanpa bicara apa-apa, Kanjeng Syekh menampar pipi ku sekeras-kerasnya. Plakk!

Dancuk! Sampeyan ini kenapa sih, datang-datang main gampar orang?!”, semprotku sewot atas perilaku orang tua ini.

“Kamu yang dancuk, Luqman!”.

“Lho, Kanjeng Syekh tiba-tiba koq menyalahkan aku?”.

“Biarin, memang apa susahnya menyalahkan orang, apalagi hanya kamu, heh!”.

O, Kanjeng Syekh ini sudah gila, pikirku. Mosok datang-datang main gampar, masih pakai menyalahkan tanpa sebab segala. Benar-benar gila orang tua satu ini.

“Kamu menuduh aku gila, ya, Luq?”, semprot Kanjeng Syekh sambil meludahi wajahku.

“Lho, Sampeyan koq tahu?”, setengah heran aku dibuatnya, lha baru ada dalam pikiranku, eh, orang ini sudah tahu kalau aku anggap dia gila.

“Ya tahu, begitu saja koq sulit!”.

“Kanjeng Syekh, Sampeyan pasti dibantu jin!”

“Biarin, begitu koq repot-repot?!”

Ah, Kanjeng Syekh ini benar-benar dancuk. Asu! umpatku dalam hati.

“Apa, heh, kamu bilang aku dancuk dan asu?”.

“Lho, Kanjeng Syekh koq tahu lagi?!”

“Ya tahu, begitu saja koq sulit!”.

“Sampeyan pasti ada yang mbisiki?!”.

“Ya, memang ada yang mbisiki aku, yaitu Gusti Allah!”.

“Ah, nDagel, kapan Kanjeng Syekh ketemu Gusti Allah?”, tanyaku sambil misuh-misuh tidak karuan.

“Sejak dulu, sebelum aku duduk di sini. Sejak aku pulang mlancong dari negeri Abu Nawas. Sejak ku temukan negeri ini dikuasi para setan dan iblis. Maka aku mencari Gusti Allah untuk ku pisuhi dan ku tempelengi. Wong katanya Dia itu Penguasa Tunggal di alam ini, mosok ada setan dan iblis yang setiap hari makan darah dan daging manusia, koq, dibiarin saja!”.

Sampeyan bisa ketemu Gusti Allah, di mana?”, tanyaku serius sambil membersihkan bekas ludah di wajahku yang baunya minta ampun. Pasti Kanjeng Syekh ini sudah tujuh tahun tidak gosok gigi.

“Ya ketemu, to, begitu saja koq sulit!”

“Di mana, Sampeyan bertemu Gusti Allah?!”

“Di pelosok-pelosok desa gersang dan tandus, di pinggir-pinggir kali tengah kota penuh sampah dan limbah, di rumah-rumah kardus pojok pasar, di tempat-tempat pelacuran, di pemukiman-pemukiman buruh, di emper-emper toko pada tengah malam, di tampat-tempat bangunan raksasa akan dibangun. Paham !?”.

“Tidak!”.

“Kenapa?”, tanya Kanjeng Syekh.

“Gusti Allah koq mirip-mirip dengan kekumuhan, kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan dan ketertindasan. Kanjeng Syekh pasti ngawur!”, sergah ku sambil melongokkan kepala ke arah saku Kanjeng Syekh, siapa tahu ada rokok di sana, ‘kan lumayan.

“Rokokmu habis ya, Luq?!”.

“Lho, Kanjeng Syekh koq tahu lagi!”.

“Ya tahu, sana ambil rokok di dalam tas itu!”.

“Terimakasih, Kanjeng Syekh”, ucapku cengengesan.

Nah, kedatangan ku ….”,

“Stop!”, potongku segera, “aku mau bikin kopi dulu Kanjeng!”, seru ku sambil ngeloyor ke dapur.

*********

Aku masih mendengar Kanjeng Syekh misuh-misuh, jengkel karena tiba-tiba aku tinggal ke dapur. Biarin. Tapi jujur saja, aku nggak habis pikir, Kanjeng Syekh datang tengah malam dengan wajah kuyu, marah-marah, omong tentang Gusti Allah. Apa maksudnya? Sekedar kentut untuk membuang kepenatannya setelah hari-hari perjalanannya dipenuhi permasalahan yang tidak habis-habis atau ada maksud lainnya. Apalagi dengan kedudukannya yang baru sebagai penguasa kursi kasepuhan di Kasultanan.

Nah, kopinya sudah jadi. Di mana intip goreng tadi sore itu ya, siapa tahu Kanjeng Syekh lapar. Lumayan bisa buat ganjel perut. Nah ini dia!

“Ini kopinya, Kanjeng?!”.

“Lha, itu apa?!”, tanya Kanjeng Syekh menunjuk ke piring yang masih ku pegang.

“Ini intip yang digoreng dengan jlantah!”.

“Ah! Dasar kere!” gerutunya.

“Biarin!” sahutku singkat.

Beberapa saat kamudian tangan Kanjeng Syekh mengambil intip goreng dan dikremusnya dengan lahap.

“Nah enak kan Kanjeng?”, tanyaku sambil menyulut rokok kretek yang aku ambil dari tas Kanjeng Syekh.

“Nah!”, Kanjeng Syekh berbicara, “Aku datang ke sini untuk memarahimu secara serius, Luq?!”.

“Memang, apa salah ku?”.

“Kau telah melalaikan tugas!”.

“Tugas yang mana, Kanjeng?”.

“Tugas untuk meneruskan pekerjaan Kiai Mutamakin!”.

“Lho, apa hubungannya diriku dengan masalah Kiai Mutamakin, Kanjeng Syekh? Beliau ‘kan sudah wafat ratusan tahun lalu!”.

“Justru karena beliau sudah wafat itu, pekerjaannya harus kamu teruskan!”.

“Kanjeng Syekh, aku nggak kenal dengan Kiai Mutamakin, apalagi tahu pekerjaannya apa, Sampeyan ini ada-ada saja!”.

Nggak bisa! Kamu pasti tahu!”, bentak Kanjeng Syekh dengan roman muka serius.

“Tapi…..”.

“Begini saja…”, potong Kanjeng Syekh cepat, “Aku tidak mau tahu apakah kamu kenal Kiai Mutamakin atau tidak, tahu yang dikerjakannya atau tidak, pokoknya kamu harus meneruskan pekerjaan yang sudah dirintisnya. Titik!”.

Lho, Kanjeng Syekh koq maksa?”.

“Biarin. Yang maksa kan bukan aku!”.

“Lalu siapa?”.

“Gusti Allah!”, jawab Kanjeng Syekh sambil bangkit dari duduk dan hendak melangkah pergi.

“Gusti Allah ada di mana sekarang, aku mau bertemu langsung?”, tantangku sembari memegang ujung baju Kanjeng Syekh, biar tidak jadi pergi.

He, lepaskan bajuku!”, teriak Kanjeng Syekh, “Lepaskan! Nanti robek!”

Yo ben, ben kapok!”, jawabku sekenanya, “Di mana itu Gusti Allah, aku mau bertemu sendiri, biar tidak di peta-kompli terus”.

“Cari saja sendiri”, kata Kanjeng Syekh, “Di pelosok-pelosok desa gersang dan tandus, di pinggir-pinggir kali tengah kota penuh sampah dan limbah, di rumah-rumah kardus pojok pasar, di tempat-tempat pelacuran, di pemukiman-pemukiman buruh, di emper-emper toko pada tengah malam, di tampat-tempat bangunan raksasa akan dibangun!”.

Dancuk!”, semprotku.

Yo ben!”, teriak Kanjeng Syekh sambil pergi. Pencolot. Grobyyak. Darrr.

Asu! Aku nabrak pintu reotmu, Luq!” (***)

(Papringan ABC, Salatiga, Rabu, 23 Februari 2000)

Label:

Sunan Kalijogo Terjerat Hutang

Sore ini aku bertanya kepada Kanjeng Sunan Kalijogo yang sedang menikmati secangkir kopi kental. Sambil leyeh-leyeh di bangku bambu depan rumah, diterangi cahaya teplok, Kanjeng Sunan menyedot rokok lintingannya sambil menerawang jauh, jauh sekali.

“Kanjeng Sunan, tampaknya sampean lelah, habis dari mana to seharian?”

“Ah ndak dari mana-mana. Sudah berhari-hari aku tidur...”.

“Lho Kanjeng Sunan tidur berhari-hari?!

“Ya...!!!” Jawab Kanjeng Sunan sambil nyokot singkong bakar yang ndak tahu dari mana datangnya.

“Kanjeng Sunan sakit?!”, aku kembali bertanya.

Ndak, cuma pegel-pegel dan terasa berat. Aku sedang malas untuk mengerjakan sesuatu....”.

Aku tahu, biasanya kalau sudah begini Kanjeng Sunan tidak ingin diganggu lagi. Tapi aku nekad.

“Lho, Kanjeng Sunan malem ini seharusnya menghadiri rembugan agung di paseban istana kerajaan, koq belum bersiap-siap..”.

“Ya ndak apa-apa, yang butuh rembugan itu ‘kan para punggawa kerajaan yang merasa diberi amanat untuk memangku kesejahteraan rakyat...”.

“Lho Kanjeng Sunan ‘kan selama ini juga selalu bicara tentang amanat rakyat?!”

“Ya, itu ‘kan kemarin dulu, hari ini tidak!”

“Kenapa Kanjeng?”

“Ya ndak apa-apa!”

“Apa Kanjeng Sunan sedang menghadapi permasalahan yang cukup berat?”, aku coba bertanya.

“Ya, malasahku sangat berat. Aku terjerat hutang. Hutangku banyak. Hutangku terlalu banyak yang harus ku bayar. Hutang kepada tetangga dan anak-anak yatim serta orang-orang miskin di sekelilingku, aku belum mampu melunasi semua itu”.

“Berapa juta?” aku pura-pura ndak tahu.

“Berjuta-juta!”.

“Untuk keperluan apa sampean hutang begitu banyak?”.

“Bukan aku yang butuh!”, Kanjeng Sunan berhenti sejenak, mengambil singkong bakar, dilemparkan ke udara dan ditangkap dengan mulut beliau yang nampak tidak pernah gosok gigi. Pluk. “Aku juga ndak tahu, tiba-tiba hutangku banyak. Ini kerjaan Gusti Allah!”.

“Lho Koq malah misuhi Gusti Allah?”

“Aku ndak misuhi Gusti Allah, aku hanya tidak paham kenapa tiba-tiba aku dibebani hutang yang begitu banyak, padahal yang punya hutang itu sejatinya Gusti Allah!”.

“Ah Sampeyan bercanda, masak Gusti Allah punya hutang?!”

“Ya, Gusti Allah ‘kan selama ini meminjam kesejahteraan dan kebahagiaan serta kekayaan sekian banyak orang miskin untuk diberikan kepada orang-orang gede, punggawa kerajaan dan para putra-putri raja”.

Aku sedikit bingung.

“Nah...”, lanjut Kanjeng Sunan, “hari ini semua itu mesti dikembalikan lagi kepada yang berhak. Kehormatan, kesejahteraan, kekayaan dan kebahagiaan itu sudah saatnya dikembalikan kepada yang berhak”.

“Kalau begitu, itu ‘kan tugasnya Gusti Allah, bukan tugas Sampean...!”.

“Itu benar. Tapi kalau Dia laksanakan sendiri dengan bilang kun fa yakun, lalu semua kembali kepada yang berhak, ‘kan dunia ini jadi ndak indah, jadi ndak ada seninya, akal manusia jadi ndak berguna, pokoknya jadi ndak enak deh!”.

“Oh begitu to, Kanjeng?!” Kataku sambil manggut-manggut. Di dalam pikiran, aku merasa setengah paham setengah bingung, bahkan setengah menggugat. Mosok Gusti Allah punya hutang kepada manusia, apalagi mereka yang disebut Kanjeng Sunan itu orang-orang yang dalam pandangan pembangunan harus disingkirkan, minimal digusur biar tidak mengotori indahnya wajah kota. Apa mungkin Gusti Allah punya hutang kepada mereka?

"Lantas, apa Kanjeng Sunan akan menyelesaikan tugas itu sendirian?" tanyaku memecah keheningan sambil menyalakan rokoh Dji Sam Soe yang tinggal sebatang pemberian Pak Kiai Mahfud kemarin.

"Seharusnya aku tidak sendiri, sebab pada setiap pundak manusia ciptaan Gusti Allah ada kewajiban untuk mengerjakan seperti apa yang harus aku kerjakan!", jawab Kanjeng Sunan sambil minta joinan rokok.

"Kalau begitu mari kita kumpulkan semua orang, untuk bersama-sama melaksanakan kewajiban itu!", usulku kepada Kanjeng Sunan.

"Tidak semudah itu, cah bagus!"

"Kenapa?!", sergahku cepat.

"Kewajiban membayar hutang itu, tidak semua orang menyadari sebagai tugasnya. Bahkan tidak seditik yang meyakini hutang itu sebagai bantuan cuma-cuma. Lha belum lagi, upaya perlawanan dari mereka yang selama ini menikmati pinjaman hutang itu, mereka kuat lho!".

"Mereka itu orang gede", potongku, "punggawa kerajaan, raja beserta keluarganya, betulkan?!"

"Tambah satu lagi".

"Siapa?"

"Serdadu".

"Gawat", gumamku, "mereka punya bedil, kita ketapel saja tidak punya, pasti dengan mudah kita di thus oleh mereka", sambil tanganku aku kepalkan kecuali ibu jari dan jari telunjuk yang aku tempelkan di kepala.

"Ah, penakut!".

"Lebih baik mati dalam pelukan Cinta Gusti Allah SWT dari pada hidup mewah mengabdi kepada kekuasaan tiran yang korup dan menindas!", tegas Kanjeng Sunan sambil melingkis lengan baju yang aku duga sudah dua minggu tidak dicuci.(****)

Gedangan, 08 Agustus 1999

Label: