Rabu, 09 Desember 2009

PENGAKU

Semoga bukan sekedar slogan, itu pertama komentarku mengenai judul tulisan hasil permenungan ini.

“Pengakuan” semoga benar-benar artikulasi kesadaran diri akan realitas, kasunyatan dan ke-wadag-an diri. Sebuak nyanyian hasil refleksi penuh kesadaran dan tanpa sehelai tendensi, kecuali keinginan untuk lebih mendekat pada kesejatian makna hidup, mendekat pada kaki-kaki Kekasih di Kursi Arsy-Nya. Dan lebih menukikkan arah hidup dan sikap hidup kepada kedalaman samudera Cinta-Nya.

“Pengakuan” adalah penelanjangan diri atas diri sendiri dengan kesadaran dan pengertian yang terbebaskan dari intervensi serta pengaruh diluar kedirian diri.

Maka “Pengakuan” berarti pencopotan segala macam topeng, kosmetika wajah, kemunafikan sikap, kepura-puraan tekad, kepalsuan pemihakan yang menyembunyikan ambisi pribadi serta segala sikap hidup yang bersifat dusta.

“Pengakuan” berarti menginsafi potensi diri; kelemahan, kekurangan, cacat, ketidak-berdayaan, yang acap kali kita carikan penyelesaiannya dengan mengkambing-hitamkan teman, orang tua, rakyat, bahkan kadang-kadang Tuhan kita tuding-tuding sebagai biang kerok.

Sering kita menggugat (lebih tepatnya : nggrundeli) Tuhan atas kegagalan, kesedihan, kekecewaan dan kekalahan yang kita derita. Tuhan kita tuduh tidak konsisten terhadap ucapan-Nya yang akan menolong orang-orang yang berjuang dijalan-Nya. Kira-kira kita sering berucap :”…Damput! Tuhan itu gimana to ? Katanya kita disuruh ber amar makruf nahi munkar, kita disuruh menegakkan kebenaran dan keadilan, membela orang-orang lemah dan tertindas, tapi koq kita ndak dikasih fasilitas! Kita dijadikan tetap kere, bahkan tersisih, dikucilkan, diisolasikan dari pergaulan. Lho Tuhan ini Gimana To?! Tuhan koq ‘mencla-mencle’, nyuruh berjuang tapi ndak ngasih bekal….”. Uring-uringan ini tidak cupuk sampai disini, sebagian lain menambahkan, “Kalau begitu, Tuhan pasti sedang bercanda, tidak serius, alias main-main….!!!”

Seabreg “penghujatan” lainnya sering ‘tanpa sadar‘ nyrocos dari mulut kita. Baik mulut lahir maupun mulut batin. Namun, yang pasti, ‘caci-maki’, grundelan, gugatan dan sebangsanya itu tidak keluar dari mulut ‘bawah’ kaum perempuan. Dahsyat!

******

Nah, kembali pada tema “Pengakuan”. Jika kita dapat sampai pada maqam atau kedudukan sebagai orang yang mengaku, orang yang bersyahadat, maka kita akan menjadi orang yang anti-kambing hitam, anti menutupi persoalan dengan persoalan lain, anti bikin kerajinan apologi, anti bikin industri topeng untuk menutupi buruk wajah kita.

Persoalannya, barangkali adalah, “Pengakuan” itu secara ontologi apa, epistimologinya bagaimana dan aksiologinya kayak apa.

Tetapi sebenarnya ini bukanlah persoalan rumit. Semua gamblang dan terang. Bahwa ontologi “Pengakuan” adalah kesadaran kita sebagai manusia, orang-orang, yang hidup ini diciptakan Tuhan dengan seperangkat tujuan dan fungsi yang menyertai penciptaan itu. Epistimologinya, ya berawal dari relfeksi, permenungan, rela membelejeti diri menuju hakikat, inti terdalam, nukleus dari ruh hidup ini. Aksiologinya, yang jelas karena kita harus bersikap sesuai dengan tangggung-jawab kita sebagai khalifatullah fie al ardh, sebagai pemakmur bumi, lii’likalimatillah, ber-tabligh walau ayatan, ber-qulil haqqu walau kaana murran dan berjihad secara kontekstual. Atau ringkasnya, kita mesti memperjuangkan “amanat penderitaan Tuhan”.

Lho, jangan dikira Tuhan pada awalnya tidak menderita. Dahulu, Tuhan ketika masih sendirian merasa menderita karena keber-Ada-an-Nya tidak ada yang mengakui. Maka Tuhan menciptakan mahluk, termasuk manusia ini, agar mereka (para mahluk) mengakui-Nya. Menjadi para pengaku. Kalau anda tidak sepakat dengan pendapat saya ini, ya silahkan!. Wong Tuhan saja tidak pernah memaksakan kehendak-Nya. Membebaskan kita memilih iman atau kafir sebagaimana saya membebaskan saya dan anda untuk bergerak ketangga “Pengakuan” atau tetap memilih bertahan di anak tangga sebelumnya yang jumud, beku, inkonsisten, lari ditempat dengan fatamorgana mimpi-mimpi besar saya dan Anda. (*)

(Ditulis dalam naungan kearifan seorang Guru : KH. Mahfudz Ridwan, Lc. Di Wisma Santri EDI MANCORO Gedangan Tuntang Kab. Semarang pada tanggal 02 September 1997)

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda